Senin, 10 Oktober 2016
Pertanyaan:
Assalmu’alaikum.
Maaf Pak Ustadz, saya mau bertanya seputar pernikahan. Bagaimana hukum orang yang meminjam uang ke Bank untuk keperluan nikah? Terima Kasih atas segala perhatian dan jawabannya.
Jazakallahu khairan.
Dari: Apip
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Menikah memang sangat dianjurkan, bahkan bisa jadi wajib bagi orang yang dikhawatirkan berzina. Namun bukan berarti ini harus dilakukan dengan melegalkan segala macam cara. Berusaha menempuh jalan yang diridhai Allah, merupakan cara paling tepat untuk mendapatkan keberkahan dalam pernikahan.
Seperti yang kita ketahui, meminjam bank tidak akan lepas dari riba. Seberapapun pinjaman Anda dari bank, tidak akan lepas dari persyaratan riba. Kenyataan ini menunjukkan bahwa orang yang berutang di bank berarti sedang melakukan transaksi riba dengan bank. Meskipun dalam hal ini, dia hanya sebagai nasabah, sementara bank yang memakan ribanya. Karena keberadaan nasabah yang meminjam uang di bank, menjadi bagi bank untuk makan riba. Untuk alasan inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat manusia yang meminjam uang dengan persyaratan riba.
Berikut beberapa dalilnya,
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَكَاتِبَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.” (Baihaqi dalam ash-Shugra, 1871).
Siapakah Pemberi Makan Riba?
Dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan:
وَموكِلَهُ أَيْ مُعْطِيَهُ لِمَنْ يَأْخُذُهُ
“Pemberi makan” maksudnya yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya. (Aunul Ma’bud, 9:130)
Anda bisa bayangkan, posisi nasabah yang meminjam uan di bank mengalami kerugian dua kali. Rugi memberikan uang riba ke bank dan rugi dengan ancaman laknat karena melanggar hadis di atas.
Solusi
Ada beberapa alternatif solusi, agar Anda tetap bisa menikah tanpa harus menyentuh bank:
======
Pertama, menabung dengan menunda nikah
Jika masih memungkinkan bagi Anda untuk menunda nikah, terlebih jika Anda belum memiliki calon istri, kami sarankan agar Anda menabung sampai Anda memiliki dana yang cukup untuk menikah. Dalam kesempatan yang sama, agar kondisi syahwat tidak muncul berlebihan, Anda aktifkan puasa sunah. Solusi ini yang disarankan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang belum mampu menikah. Beliau bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung nafkah maka hendaknya dia menikah. Siapa yang belum mampu maka dia harus puasa, karena puasa itu menjadi penurun syahwat baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, sederhanakan walimah
Inti walimah adalah makan-makan, untuk menunjukkan kegembiraan Anda sebagai pengantin baru dan sekaligus pengumuman nikah bagi masyarakat. Untuk hanya tujuan ini, sejatinya tidak membutuhkan banyak biaya.
Namun sayangnya, tradisi masyarakat kita menjadikan walimah sebagai lambang kebanggaan keluarga. Mereka menganggap walimah mewah melambangkan keistimewaan sebuah keluarga. Wajar saja jika tradisi walimah di tempat kita tidak lepas dari sikap mubadzir dan melampaui batas, yang jelas-jelas itu adalah sikap masyarakat jahiliyah. Mereka rela untuk utang demi menampakkan kemewahan dan mendapatkan pujian.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Janganlah kamu berbuat tabdzir (mubadzir). Sesungguhnya orang-orang yang suka berbuat tabdzir adalah saudara-saudara syaitan..” (QS. Al Isra’ 26 – 27).
Ulama berbeda pendapat tentang makna tabdzir (mubadzir).
Az-Zajjaj mengatakan:
“Tabdzir adalah membelanjakan harta untuk selain ketaatan kepada Allah. Orang jahiliyah menyembelih onta, menghabiskan uangnya karena kesombongan dan cari pujian, kemudian Allah perintahkan untuk membelanjakan harta semata-mata karena mencari wajah Allah dalam hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.”
Hal lain yang perlu direnungkan dalam ayat ini adalah pernyataan “…orang-orang yang suka berbuat tabdzir adalah saudara-saudara setan.” Pernyataan ini menunjukkan celaan yang sangat keras kepada orang yang suka berbuat mubadzir. Keadaannya disamakan dengan setan yang kufur terhadap nikmat, karena menggunakan nikmat tersebut tidak untuk ketaatan kepada Allah.
Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hidangan walimah, sebagai hidangan yang buruk. Beliau bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Makanan yang paling buruk adalah makanan walimah (karena) hanya mengundang orang kaya dan meninggalkan (tidak mengundang) orang miskin.” (HR. Bukhari 5177)
Ketiga, terpaksa utang
Jika Anda terpaksa harus utang agar bisa menikah, Anda harus tetap menghindari bank. Sebagai gantinya, Anda bisa berutang ke selain bank atau lembaga riba lainnya. Misalnya berutang ke kerabat yang memiliki kelebihan harta. Perbuatan semacam ini termasuk bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa.
Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk istiqamah di atas kebenaran. Amin.
Sumber: konsultasisyariah.com