Senin, 10 Oktober 2016

Mati merupakan kebenaran yang dibenci. Kebenaran yang tidak disukai. Khususnya oleh orang-orang kafir, musyrik, dan munafiq. Namun, orang-orang yang beriman amat mendambakannya karena mati menjadi pintu gerbang baginya untuk bertemu dengan Allah Ta’ala. Maka orang beriman disebut cerdas tatkala ia menyadari kepastian mati dan bergegas untuk mengumpulkan bekal guna mengarungi kehidupan sejati setelahnya.



Sesaat sebelum mati, jantung berhenti berdetak, nafas tertahan, dan badan bergetar hebat. Telinga terasa dingin, darah berubah menjadi asam dan tenggorokan berkontraksi dahsyat. Berselang detik berikutnya, medis menyatakan kita telah meninggal tatkala suplai oksigen ke otak berhenti.

Innalillahi wa inna ilahi raji’un.

Sebagian keluarga menangis. Orang-orang dekat bersedih. Tetangga saling berdatangan. Pihak yang peduli akan bergegas mengurusi badan kita, agar segera dimakamkan.

Percayalah, ada orang-orang yang akan berbahagia dengan kematian kita; siapa pun ia, apa pun motifnya. Ia bisa seorang musuh, lawan bisnis, atau bahkan orang dekat. Ia yang berbahagia bisa juga pasangan yang saban malam tidur bersama.


Dan, sesedih apa pun, mereka akan tetap menjalani hidupnya. Mereka akan tetap makan, minum, bernafas, tertawa, dan menikmati hidup. Hanya kita yang sibuk untuk menghadapi pertanggungjawaban yang tak lama lagi.

Sudah siap?

Satu menit setelah resmi dinyatakan mati, darah kita berubah warna, otot kita berhenti berkontraksi, isi kantung kemih keluar tanpa kendali.

Tiga menit setelahnya, sel-sel otak mati seluruhnya. Otak kita sudah tidak beraktivitas lagi untuk selamanya. Tak ada berguna lagi kecerdasan, nilai yang bagus, prestasi cemerlang, atau puja-puji atas nama kejeniusan kita semasa hidup.

Pada menit kelima, pupil mata kita membesar, tapi bola mata mengerut lantaran kehilangan aliran darah. Ingatlah masa hidup yang pernah melotot kepada santri, murid, tetangga, anak-anak, atau pasangan hidup. Saat itu, mata kita benar-benar tak kuasa melakukan apa pun.

Allahu…

Di menit ke tujuh, semua yang terhubung ke otak benar-benar berhenti.
======
Tapi ingat, semua yang bersedih, siapa pun mereka akan tetap menjalani hidupnya. Tidak banyak kehidupan mereka yang hilang karena kematian kita. Kitalah yang justru amat bersedih, sebab semuanya menjauh bahkan tak bisa dimintai tolong, bahkan kita sudah tak kuasa meminta tolong.

Lantas, siapa yang akan menolong kita?

Satu jam kemudian, seluruh aktivitas di otot berhenti. Akibatnya, badan kita menjadi kaku, rambut kita berdiri. Inilah yang mengesankan rambut tetap tumbuh, meski seseorang telah meninggal dunia.



Kemudian darah terkumpul. Menggumpal. Mati, dan berubah warna. Warna kulit pun berangsur menjadi hitam karena tiada aliran darah. Ini terjadi pada jam ke empat sampai keenam setelah kematian. Berikutnya, suhu tubuh langsung menurun.

Di hari kedua, isi perut membusuk oleh mikroba di dalam tubuh. Makhluk hidup lain yang masih berada di dalam tubuh kita, bakteri yang berasal dari makanan, mulai mencerna diri sendiri. Dan di hari ketiga, terjadilah fase rigor mortis atau tubuh menjadi lentur selentur penari balerina.

“Pembusukan mengakibatkan luka dalam skala besar. Darah menetes keluar dari mulut dan hidung.” tutur Dr ‘Umar ‘Abdul Kafi dalam buku al-Wa’dul Haq menjelaskan kejadian tiga sampai lima hari setelah kematian.

Kemudian warna tubuh berubah menjadi hijau, merah, lalu membusuk. Beberapa pekan kemudian, rambut mulai rontok, kuku terkelupas, gigi tercopot bergantian atau bersamaan.

Astaghfirullah…

***

Kawan, itulah kondisi kita. Itulah fase yang pasti akan kita alami; cepat atau lambat, disukai atau dibenci. Itulah kepastian paling pasti dari kehidupan yang tengah kita jalani.

Tidaklah seorang hamba dihidupkan, melainkan ia akan dimatikan. Sebab hanya Allah Ta’ala Yang Mahahidup, Kekal, Yang Paling Awal, Yang Paling Akhir, Mahakuasa atas seluruh semesta raya.

Cobalah berhitung, dengan hitungan paling sederhana yang kita mampu. Berapa lama lagi jatah kehidupan ini? lihatlah sekitar. Lihatlah orang tua, nenek, kakek, sesepuh, guru, kiyai, ustadz, sahabat, kerabat, atau siapa pun yang telah mendahului kita.

Ingatlah mereka yang telah lebih dahulu pergi. Bukankah ada yang kemarin hidup dan bersama kita, lantas hari ini sudah berada di alam yang amat berbeda?

Jangan-jangan, esok Anda tak lagi membaca tulisan kami karena penulisnya telah mati. Jangan-jangan, Anda sudah tak kuasa membaca lagi lantaran kematian yang datang seketika tanpa permisi.

Kapan pun datangnya, semoga kita menghadap Allah Ta’ala dalam keadaan husnul khatimah. Saya ingin meninggal dalam keadaan shalat, membaca al-Qur’an, atau jihad. Bagaimana dengan teman-teman?

Wallahu a’lam.

Sumber: kisahikmah.com | kisahikmah.com

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © ADA-ADA SAJA - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -