Kamis, 18 Agustus 2016
Setidaknya Anda harus mempertimbangkan untuk berhenti merokok jika wacana menaikkan harga rokok yang dilakukan pemerintah baru-baru ini akan segera dilaksanakan. Pasalnya, pemerintah sedang mengkaji penyesuaian tarif cukai rokok sebagai salah satu instrumen harga rokok.
Kajian harga rokok itu muncuat dari hasil studi yang dilakukan oleh Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany dan rekan-rekannya, ada keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok.
Dari studi itu terungkap bahwa sejumlah perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan menjadi dua kali lipat. Dari sekitar 1.000 orang yang disurvei, sebanyak 72 persen bilang bahwa mereka akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp50.000.
Pemerintah sendiri menjelaskan bahwa cukai rokok selalu ditinjau ulang setiap tahun. Sejumlah indikator akan menjadi pertimbangan, terutama kondisi ekonomi, permintaan rokok, dan perkembangan industri rokok.
"Tapi cukai rokok belum kami diskusikan lagi," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, Rabu (17/8/2016).
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) juga mengaku sedang mengkaji usulan kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat. Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, mengaku harus mempertimbangkan dengan baik dari segi ekonomi jika ingin menaikkan tarif cukai rokok sehingga perusahaan terpaksa menjual harga rokok minimal 50.000.
Menurutnya, pemerintah harus mempertimbangkan usulan tersebut bukan saja hanya melihat dari segi kesehatan, tapi juga dari segi ekonomi, seperti industri, petani dan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja.
"Jadi kita harus komunikasikan dengan seluruh stakeholder, baik yang pro kesehatan maupun yang pro industri, petani karena pasti ada tarik ulur di situ. Kalau cuma hanya mendengarkan, bisa bangkrut itu," jelas Heru.
Kenaikan harga rokok yang terlalu tinggi juga dianggap bisa berdampak negatif bagi industri, bahkan efek buruknya bisa menimbulkan peredaran atau penyelundupan rokok ilegal.
Setidaknya, lanjut Heru, harga rokok bisa naik secara bertahap sesuai dengan peta jalan pemerintah. "Jika naiknya 2,5 kali lipat sekarang, dampak minusnya terlalu besar, komunitas dan perekonomian yang nanti akan merugi," terang Heru.
Sebagai catatan, penerimaan cukai rokok di tahun lalu adalah Rp. 139,5 triliun atau 100,3 persen dari target. Dari penerimaan tersebut, sekitar Rp. 125,55 triliun disumbangkan hanya dari empat perusahaan yang semuanya bergerak di industri rokok di Indonesia.
Di sisi lain, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mendukung adanya wacana menaikkan harga rokok minimal menjadi Rp. 50.000 perbungkus. Karena dengan harga yang tinggi itu akan bisa menekan jumlah perokok, terutama perokok usia sekolah dan usia produktif.
"Kasih bea cukai juga yang tinggi. Terutama untuk rokok yang banyak penggemarnya, nggak apa-apa itu," kata Djarot.